29/01/2022

Prevalensi Stunting di Indonesia Turun, Namun Tergolong Masih Sangat Tinggi!

Prevalensi Stunting di Indonesia Turun, Namun Tergolong Masih Sangat Tinggi

Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 telah diluncurkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan. Studi tersebut menunjukkan bahwa angka masalah gizi kronis atau stunting di tahun 2021 turun sebanyak 3,3% dari tahun 2019. Meski demikian, angka tersebut masih sangat tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).

Menurut WHO, yang dimaksud stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan simulasi psikososial yang tidak memadai. Jika seorang anak memiliki tinggi badan lebih dari -2 standar deviasi median pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh WHO, maka anak tersebut dikatakan mengalami stunting.

Di Indonesia sendiri, masalah stunting merupakan ancaman serius yang memerlukan penanganan yang tepat. Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan bahwa pada tahun 2018, angka stunting mencapai 30,8% kemudian turun menjadi 27,7% pada tahun 2019, dan kembali turun menjadi 24,4% di tahun 2021. Namun, angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%.

Penurunan angka stunting pada balita adalah agenda utama pemerintah dalam beberapa kurun waktu terakhir. Sekretariat Wakil Presiden mengkoordinasikan upaya percepatan pencegahan stunting agar konvergen, baik pada perencanaan, pelaksanaan, termasuk pemantauan dan evaluasinya di berbagai tingkat pemerintahan serta mendorong keterlibatan semua pihak dalam percepatan pencegahan stunting agar prevalensi turun hingga memenuhi target di angka 14% pada 2024 nanti.

Dilansir dari bkkbn.go.id, Wakil Menteri Kesehatan menyatakan bahwasanya dari data SSGI 2021 ini, evaluasi tetap perlu dilakukan terlebih jika angka stunted (pendek menurut usia) dikaitkan dengan angka wasted (kurus menurut tinggi badan) sesuai standar yang ditetapkan WHO, di mana hanya provinsi Bali yang menjadi satu-satunya provinsi berkategori baik dengan angka stunted rendah (≤20%) yakni 10.9% dan wasted rendah (≤5%) yaitu sebesar 3%.

Kondisi ekonomi yang tak menentu selama masa pandemi yang ditandai dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang meningkat, tak pelak menjadi salah satu faktor yang bisa mendorong terjadinya peningkatan prevelensi stunting di Indonesia karena kondisi ekonomi keluarga akan mempengaruhi asupan gizi yang didapatkan oleh anak.

Faktor utama terjadinya stunting adalah kurangnya asupan gizi anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Pada 1000 HPK inilah masa di mana pertumbuhan otak dan tubuh berkembang pesat, yang dimulai sejak janin hingga anak menginjak usia 2 tahun. Oleh karenanya, pemenuhan gizi pada tahap tersebut sangat penting agar tumbuh kembang anak dapat optimal dan mencegah terjadinya stunting dan masalah gizi lainnya.

Maka dari itu, selain dengan menggalakkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya stunting dan cara pencegahannya, kita sebagai bagian dari masyarakat juga harus membantu dengan apa yang kita bisa. Anda bisa berdonasi maupun mengajukan permohonan donasi bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan, termasuk keluarga yang memiliki balita ataupun ibu hamil, melalui Jangkau! Yuk Sobat Jangkau, kita terus #BantuSesama dan #SebarkanKebaikan!

Related Posts